BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Model Pengambilan Keputusan
model adalah percontohan yang mengandung unsur yang bersifat penyederhanaan untuk dapat ditiru (jika perlu). pengambilan keputusan itu sendiri merupakan suatu proses berurutan yang memerlukan penggunaan model sacara cepat dan benar.
pentingnya model dalam suatu pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut:
- untuk mengetahuui apakah hubungan yang bersifat tunggsaal dari unsur -unsur itu ada relevansinya terhadap masalah yang akan dipecahkan diselesaikan itu.
- untuk memperjelas secara eksplisit mengenai hubungan signifikan diantara unsur-unsur itu.
- untuk merumuskan hipotesis mengenai hakikat hubungan-hubungan antara variabel. hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk matematika.
- untuk memberikan pengelolaan terhadap pengambilan keputusan.
B. Model-Model Pengambilan Keputusan
Para ahli terus berusaha untuk mempelajari berbagai pendekatan dan cara yang digunakan oleh para pengambil keputusan, baik yang berhasil maupun yang tidak, khususnya dalam menghadapai situasi problematis yang kompleks. Mempelajari berbagai kegagalan sama pentingnya dengan mempelajari keberhasilan. Sesuatu keputusan merupakan keputusan apabila
alternatif-alternatif penting tidak dipertimbangkan,
terdapat kekeliruan dalam memperkirakan keadaan yang akan timbul pada
lingkungan, ketidaktepatan dalam memperhitungkan hasil yang secara potensial
mungkin diperoleh pilihan dijatuhkan pada alternatif yang tidak paling tepat
dan bahkan kesalahan dalam menempatkan tujuan dan berbagai sasaran yang ingin
dicapai. Dengan kata lain, mempelajari mengapa pengambilan keputusan adakalanya
membuat keputusan yang tidak baik untuk dikaji. Dengan ini dapat mengetahui
sifat-sifat berbagai model dan teknik pengambilan keputusan sehingga apabila
diterapkan mendatangkan hasil yang diharapkan. Pada dasarnya terdapat dua cara
untuk melakukan penilaian keputusan:
1.
Menggunakan pendekatan
yang sifatnya pragmatis, yaitu melihat hasil yang dicapai. Jika hasil yang
dicapai sesuai dengan harapan dan keinginan, keputusan yang diambil dapat
dikatakan sebagai keputusan yang baik, dan sebaliknya. Secara pragmatis,
beberapa tolok ukur tambahan yang dapat dan biasa digunakan dalam menilai tepat
tidaknya suatu keputusan antara lain:
a.
Mutu keputusan yang
diambil dalam arti penggabungan yang tepat antara rasionalitas dan kreativitas
oleh pengambil keputusan.
b.
Dipertimbangkannya
berbagai alternatif yang wajar dan relevan untuk dipertimbangkan.
c.
Tersedianya informasi
yang relevan, mutakhir, dapat dipercaya dan lengkap serta digunakan sebgai
dasar untuk melakukan analisis yang diperlukan.
d.
Pemanfaatan yang
ekonomis dari berbagai sumber daya, dana, dan tenaga dalam proses pengambilan
keputusan.
e.
Akseptabilitas
keputusan yang diambil oleh mereka yang diharapkan akan menjalankan keputusan
tersebut dan oleh mereka yang akan terkena oleh keputusan yang diambil.
2.
Menggunakan pendekatan
yang sifatnya prosedural. Dalam hal ini yang dinalai adalah proses tau tata
cara yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Cara inilah yang menyangkut
model dan teknik pengambilan keputusan. Yang dilakukan ialah meniali suatu
keputusan baik atau tidak berdasarkan cara yang ditempuh untuk menjatuhkan
piihan. Apabila seorang pengambil keputusan telah mengidentifikasikan dan
mempertimbangkan semua alternatif yang secara sadar dibatasi, dan telah melalui
semua langkah dalam proses pengambilan keputusan, serta menerima konsekuensi
tindakan yang diambil, proses pengambilan keputusan demikian dapat dipandang
sebagai proses yang tuntas.
Ada beberapa model dan teknik pengambilan keputusan
:
1. Model Optimasi
Sasaran yang ingin dicapai dengan model
optimasi adalah bahwa dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada, organisasi
memperoleh hasil terbaik yang paling mungkin dicapai. Sikap pengambil
keputusan, norma-norma serta kebijaksanaan organisasi berperan penting dalam
menentukan kriteria apa yang dimaksud dengan hasil terbaik yang mungkin dicapai
itu.
Menurut Rainey
(1991) rasionalitas memiliki arti dan dimensi yang bermacam-macam, tetapi dalam
ilmu-ilmu sosial rasionalitas itu meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
a. Para pembuat keputusan mengetahui secara jelas
tujuan-tujuannya secara relevan.
b. Pembuat keputusan mengetahui dengan jelas
kriteria untuk menilai tujuan-tujuan itu dan dapat menyususn peringkat dari
tujuan-tujuan tersebut.
c. Mereka memeriksa semua alternatif untuk mencapai
tujuan mereka.
d. Mereka memilih alternatif yang paling efisien
untuk memaksimalkan pencapaian tujuan.
Langkah-Langkah Dalam Model Optimasi
Setiap keputusan
yang diambil itu merupakan perwujudan kebijakan yang telah digariskan. Oleh
karena itu, analisis proses pengambilan keputusan pada hakikatnya sama saja
dengan analisis proses kebijakan. Menurut Maulana (2010) Proses pengambilan
keputusan meliputi
a.
Lakukan kebutuhan akan suatu keputusan
b.
Menentukan kriteria yang diputuskan
c.
Menentukan kriteria yang berbobot
d.
Mengembangkan alternatif
e.
Menilai beberapa alternatif
f.
Memilih alternatif
Menyusun alternatif dengan
memperhitungkan untung rugi untuk setiap alternatif dengan mempertimbangkan/
memperhitungkan/ memperkirakan kemungkinan timbulnya macam macam kejadian yang
akan datang yang merupakan dampak dari kejadian terhadap alternatif yang
dirumuskan. Akan didapat keputusan optimal, karena setidaknya telah
memperhitungkan semua fakta yang berkaitan dengan keputusan tersebut
(memaksimalkan hasil keputusan).
Kelebihan dan Kelemahan Model Optimasi atau Rasional
Kelebihan dari teknik pengambilan
keputusan model optimasi, antara lain:
a.
Dapat memfokuskan diri pada pengumpulan data dan kriteria yang telah
ditetapkan.
b.
Dapat mengurangi subyektifitas, yaitu mengambil keputusan berdasarkan opini
seseorang.
c.
Efisien, karena berdasarkan pemilihan alternatif yang terbaik.
Kekurangan dari teknik
pengambilan keputusan model optimasi, antara lain:
a.
Diasumsikan atau dianggap bahwa ada pengetahuan yang telah dihasilkan.
b.
Model optimasi ini tidak dinamis, harus mengikuti langkah-langkah yang
terkait
c.
Dimunculkan sebagai obyektif namun pengambilan keputusan oleh
siapapun membutuhkan justifikasi pribadi (tidak bebas nilai).
Model optimasi didasar pada berbagai kriteria dan
yang menonjol diantaranya adalah:
1)
Kriteria Maximin. Metode maximin menjelaskan bahwa pembuat
keputusan seharusnya memusatkan perhatiannya pada atribut terlemah yang
dimilikinya. Metode ini tidak banyak menggunakan informasi yang tersedia. Kriteria ini mencari alternative yang maximum dari hasil yang minimum dari
setiap alternative. Pertama, dicari hasil minimum dari setiap alternative, dan
selanjutnya memilih alternative dengan nilai terbesar dari yang terkecil tadi.
Karena kriteria ini memilih alternative yang memiliki kerugian terkecil,
disebut sebagai kriteria keputusan pesimistik. Dengan kata lain model ini pada intinya berarti memaksimalkan hasil usaha
dalam batasan-batasan minimum yang diperhitungkan akan dicapai.
2)
Kriteria Maximax. Model
ini didasarkan pada asumsi yang optimistik yang menyatakan bahwa keputusan yang
diambil akan mendatangkan hasil yang maksimum. Dalam prakteknya apa yang
kemudian terjadi ialah lebih memaksimalkan usaha agar hasil yang diperoleh
betul-betul semaksimal mungkin.
3)
Kriteria melewatkan
kesempatan. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa merupakan hal yang
alamiah apabila para pengambil keputusan berpikir dan bertindak dalam kerangka
dilewatkannya peluang-peluang tetentu, apabila melewatkan peluang ituberakibat
pada tersedianya peluang yang lebih besar demi meraih keuntungan yang lebih
besar pula. Segi penting dari model ini ialah mengidentifikasikan secara teliti
biaya yang harus dipikul karena hilangnya peluang tertentu, dan memperkecil
kerugian yang harus diderita karena ingin memanfaatkan peluang yang lebih besar
dimasa yang akan datang.
4)
Kriteria probabilitas.
Model ini berarti bahwa pengambilan keputusan harus menggunakan kriteria
kemungkinan diperolehnya hasil tertentu sebagai dasar untuk menjatuhkan
pilihan. Probabilitas bisa mulai dari nol, dalam arti tidak ada kemungkinan
tercapainya hasil yang diharapkan hingga satu, dalam arti bahwa terdapat
kepastian akan diraihnya hasil yang diharapkan dengan diambilnya suatu
keputusan tertentu.
5)
Kriteria nilai materi
yang diharapkan. Kriteria nilai materi yang diharapkan. Dalam praktek
penggunaannya dimulai dengan penentuan nilau atas hasil yang diperoleh dari
setiap alternative yang dipilih untuk diterapkan. Model ini juga
memperhitungkan kemungkinan apa yang akan timbul jika alternatif tertentu
ditempuh.
6)
Kriteria manfaat.
Kriteria ini merupaka kelanjutan dari kriteria nilai materi. Terlihat bahwa
dengan penggunaan kriteria itu pengambilan keputusan tidak memperdulikan risiko
yang mungkin harus dihadapi apabila pilihan dijatuhkan atas berbagai
alternative yang tersedia.
2. Model Satisficing
Salah satu perkembangan baru dalam teori
pengambilan keputusan ialah berkembangnya pendapat yang mengatakan bahwa
manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan hasil dengan menggunakan
berbagai kriteria yang telah dibahas diawal. Tidak dapat disangkal bahwa aksentuasi
pada pendekatan kuantitatif mempunyai tempat dalam pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan tidak dapat didekati semata-mata dengan prosedur yang
sepenuhnya didasarkan pada rasionalitas dan logika. Kenyataan sering menunjukan
bahwa para pengambil keputusan tidak selalu berpikir dalam kerangka pertanyaan:
“ Alternatif- alternatif apa yang tersedia, informasi yang bagaimana yang
diperlukan, serta analisis bagaimana yang diperlikan sehingga pilihan dapat
dijatuhkan pada alternatif yang paling tepat?” Memang sukar membayangkan adanya
situasi dimana seorang pengambil keputusan dapat memastikan semua konsekuensi
tindakan yang akan diambil, baik yang menguntungkan maupun tidak.
Ada dua alasan pokok untuk mengatakan yang demikian itu:
a.
Memang tidak mungkin informasi
yang relevan, mutakhir, lengkap dan dapat dipercaya selalu tersedia.
b.
Tidak semua kemungkin
tentang semua konsekuensi yang akan timbul dapat diperkirakan secara tepat
sebelumnya.
Model satisficing
berarti pengambil keputusan memilih alternative solusi pertama yang memenuhi
criteria keputusan minimal. Dengan tidak berusaha untuk mengejar seluruh
alternative untuk mengidentifikasi solusi tunggal untuk memaksimalkan
pengembalian ekonomi, manajer akan memilih solusi pertama yang muncul untuk
memecahkan masalah, bahkan jika solusi yang lebih baik diperkirakan akan ada
kemudian. Pengambil keputusan tidak dapat menjustifikasi waktu dan pengorbanan
untuk mendapatkan kelengkapan informasi. Masalah kompleks
disederhanakan (hanya mengambil inti masalahnya saja / bounded rationality)
sampai pada tingkat dimana pengambil keputusan siap menyelesaikannya.
Model satisficing, para pengambil keputusan
merasa cukup bangga dan puas apabila keputusan yang diambilnya membuahkan hasil
yang memadai, asalkan persyaratan minimal tetap terpenuhi. Ide pokok dari model
ini adalah bahwa usaha ditujukan pada apa yang mungkin dilakukan “sekarang dan
disini” dan bukan pada sesuatu yang mungkin optimal tetapi tidak realistis dan
oleh karenanya tidak mungkin dicapai. Model ini terdapat dua keyakinan:
a.
Ketidakmampuan
pengambil keputusan untuk menganilisis semua informasi.
b.
Pada tahap tertentu
dalam proses pengambilan keputusan , timbul berbagai beban yang tidak dapat
dipikul dalam bentuk waktu, uang, tenaga, dan frustasi dalam usaha memperoleh
informasi tambahan.
Dalam penggunaan model satisficing tetap ada tempat
bagi pertimbangan berbagai jenis alternatif yang mungkin ditempuh. Berbeda
dengan model optimasi, yang membandingkan berbagai alternatif untuk melihat
kelebihan dan kekurangan masing-masing, dalam model satificing setiap
alternatif dinilai tanpa terlalu memikirkan perbandingannya dengan
alternatif-alternatif lain. Terdapat empat cara untuk membedakan model
satisficing dengan optimasi:
1)
Dalam menguji suatu
tindakan yang akan diambil hanya beberapa atau bahkan hanya satu persyaratan
yang dipertimbangkan, sedangkan pertimbangan- pertimbangan lain tidak
diperhitungkan lagi.
2)
Berbagai alternatif
diuji secara berurut dan apabila ditemukan satu alternatif yang dipandang
memadai, usaha untuk mencari alternatif lain dihentikan.
3)
Secara sadar jumlah
alternatif dibatasi, dan pengujian terhadap setiap alternatif dilakukan secara
acak.
4)
Pertimbangan menyetujui
atau menolak tidak dikaitkan satu sama lain, melainkan diuji secara independen.
Semua alternatif diperlakukan sama, yang berati bahwa keputusan yang ditangani
dengan cara yang sama seperti halnya keputusan yang kurang penting.
Macam- macam variasi model satisficing:
a.
Ketentuan keputusan
tunggal. Pendekatan ini sering dapat menarik untuk diterapkan, terutama
karena proses pengambilan keputusan berlangsung dengan cepat dan dengan hasil
yang dapat diperhitungkan sebelumnya.
b.
Variasi eliminasi
segi-segi tertentu. Variasi ini bertitik tolak dari usaha penyempitan terhadap
pilihan dari berbagai alternatif yang mungkin dipilih. Artinya, suatu kombinasi
dari ketentuan keputusan tunggal digunakan secara cepat untuk memilih beberapa
alternatif kunci yang dipandang memenuhi syarat-syarat minimal.
c.
Variasi Inkrementasi.
Variasi ini berarti pemikiran dipusatkan pada pengurangan dampak berbagai
kelemahan nyata dan yang harus segera dihadapi oleh organisasi. Paham inkremental ini juga cukup rcalistis
karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya kurang waktu, kurang
pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan untuk melakukan
analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada. akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa
kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misalnya, keputusan-keputusan
yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih
mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang
kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan
kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari
kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu
mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan.
Model satisficing ini logis
dan rasional dalam batas yang sempit dikarenakan informasi tidak sempurna,
kendala waktu, biaya, dan keterbatasan pemahaman.
3. Model Mixed Scanning
Scanning berarti usaha mencari,
mengumpulkan, memproses, menilai, dan menimbang-nimbang informasi dalam
kaitannya dengan menjatuhkan pilihan tertentu. Model mixed scanning berarti
bahwa setiap kali seorang pengambil keputusan mengahadapi dilemma dalam memilih
suatu langkah tertentu, satu keputusan pendahuluan harus dibuat tentang sampai
sejauh mana berbagai sarana dan prasarana organisasi akan digunakan untuk mencari
dan menilai berbagai fungsi dan kegiatan yang akan dilaksakan. Para ahli
berpendapat bahwa, dalam penggunaan model ini keputusan- keputusan yang
fundamental dibuat setelah terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap
berbagai alternatif yang paling relevan, yang kemudian dikaitkan dengan tujuan
dan sasaran organisasi. Unsur-unsur dari pendekatan yang rasional dan
incremental digabungkan, dan penggabungan ini dipandang dapat saling isi
mengisi, dalam arti kelebihan pendekatan yang rasional memperkuat kelebihan
pendekatan yang inkremental.
Model pengamatan
terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang
berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para
pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan
keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan scanning
dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif pengambilan keputusa
tersebut. Dengan demikian, model pengamatan terpadu ini pada hakikatnya
merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional
komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan
keputusan.
Keputusan
ini dimungkinkan membuat keputusan-keputusan besar yang mempunyai dampak jangka
panjang, dan juga keputusan-keputusan dengan ruang lingkup terbatas. Mereka
dapat menggabungkan kedua perspektif tersebut, yaitu yang berjangka panjang dan
luas dengan yang sempit bertahap dengan maksud mencegah mereka membuat
keputusan inkremental yang kurang melihat jauh ke depan.
Contohnya : Saat
kita memutuskan untuk pindah kerja ( resign ), pasti kita akan
berpikir jauh, apakah di tempat kerja yang baru nanti akan lebih baik dari yang
sekarang, pastinya kita tidak mau gegabah dengan mengambil keputusan secara
cepat, karena dampaknya pasti aka nada penyesalan jika nantinya tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Maka dari itu kita pasti akan memikirkannya
matang-matang dalam membuat keputusan tersebut.
4. Incrimental Model
Teori inkremental dalam pengambilan
keputusan mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari
banyak masalah yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional
komprehensif) dan, pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak
menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam
mengambil kepurusan sehari-hari.
Ada beberapa
kelemahan dalam teori inkremental ini diantaranya adalah, keputusan–keputusan yang diambil akan
lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat dan mapan
sehingga kepentingan dari kelompok yang lemah terabaikan dan
diduakan. Keputusan diambil
lebih ditekankan kepada keputusan jangka pendek dan tidak memperhatikan
berbagai macam kebijakan lain sehingga pengambilan
keputusan yang bersifat inkremental
tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan publik.Dinegara berkembang teori ini tidak cocok untuk diterapkan karena
perubahan yang bersifat inkremental tidak tepat karena negara berkembang
lebih membutuhkan perubahan yang besar dan mendasar. Menurut Yehezkel
Dror (1968) model inkremental dalam membuat keputusan cenderung
mengahasilkan
kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga perubahan tidak cepat dan
tidak signifikan.
Contoh kasus sebagai bentuk kritik dari
teori inkremental adalah adanya kebijakan remunerasi bagi pegawai saat
pemerintahan SBY jilid 2. Dengan menaikkan remunerasi (gaji) pegawai negeri
sipil, kesejahteraan pegawai negeri sipil tercukupi, etos kerjanya meningkat
bagus, dan tidak melakukan tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak Kementerian
Keuangan Gayus H Tambunan, ternyata
melibatkan banyak pihak di luar Kementerian Keuangan (seperti Kejaksaan Agung,
Kepolisian RI, dan lain-lain), tentunya tidak cukup diatasi dengan kebijakan
tambal sulam (inkremental), tetapi mungkin memerlukan pemecahan yang lebih
menyeluruh (komprehensif). Berbagai inovasi sosial acapkali menuntut adanya
kebijakan atau program yang baru.
5. Model Garbage Can Model
Model ini merupakan hasil evolusi dari Carnegie
Model dan Incremental Decision Process Model.
Perbedaannya adalah, jika Carnegie dan Incremental
Decision Process Model memberikan informasi mengenai bagaimana
keputusan tunggal terbentuk, maka Garbage Can Model menggambarkan
bagaimana alur setiap keputusan dibuat dalam organisasi secara keseluruhan.
Beberapa karakteristik mengenai model ini adalah:
1)
Organized anarchy
Yaitu suatu keadaan dimana terjadi tingkat
ketidakpastian yang sangat tinggi, sehingga terjadi anarki organisasi dimana
terjadi penyimpangan otoritas vertikal dari hirarki serta keputusan birokratik.
Anarki organisasi ditandai dengan adanya perubahan yang cepat dan kolektif
terhadap lingkungan birokrasi.
2)
Streams of events
Karakteristik lain dari Garbage Can Model
adalah proses pengambilan keputusan yang tidak berurutan dimana seharusnya
pengambilan keputusan seharusnya diawali dengan adanya suatu masalah dan
berakhir dengan ditemukannya solusi. Pengambilan keputusan yang terjadi pada
model ini mengikuti aliran sebagai berikut:
a)
Problems
Masalah muncul saat terjadi ketidakpuasan terhadap kinerja.
b)
Potential solution
Merupakan gagasan yang dikemukakan seorang karyawan yang
tidak selalu menduduki jabatan seorang manajer.
c)
Participants
Partisipan merupakan karyawan organisasi.
d)
Choice of opportunities
Merupakan saat dimana organisasi memiliki peluang dan harus
membuat keputusan.
3) Consequnces
Gargbage can model
memiliki 4 macam konsekuensi, antara lain
a)
Solusi dapat saja terbentuk
meskipun organisasi tidak sedang mengalami masalah.
b)
Pilihan dapat ditentukan meskipun
terkadang tidak memecahkan permasalahan.
c)
Permasalahan dapat berlarut-larut,
karena partisipan terbiasa dengan masalah yang terjadi dan menyerah untuk
menyelesaikannya
d)
Tidak semua masalah dapat
terpecahkan
e)
Garbage can model cocok untuk
digunakan pada pengambilan keputusan pada keadaaan problematik dengan informasi
mengenai permasalahan yang sangat minim.
6. Elite Polytic Model
Model
ini menggambarkan pembuatan kebijakan publik dalam bentuk piramida dimana
masyarakat berada pada tingkat paling bawah, elite pada ujung piramida dan
aktor internal birokrasi pembuatan kebijakan publik berada ditengah-tengah
antara masyarakat dan elite. Aktor internal birokrasi pembuat kebijakan publik (pemerintah)
seharusnya menyeimbangkan antara kepentingan masyarakat dan elit dalam setiap
kebijkan publik yang diambilnya. Akan tetapi dalam model ini mereka bukan
sebagai abdi rakyat “servant of the
people”tetapi lebih sebagai kepanjangan tangan dari elit yaitu
kelompok-kelompok yang mapan ( The Establishment) (Islamy, 1986:36). Hal ini
disebabkan kebijakan punlik ditentukan semata-mata oleh kelompok elit, sehingga
aktor pembuat kebijakan publik (pemerintah) hanyalah sekedar
pelaksana-pelaksana dari kebijkan publik yang telah ditetapkan oleh elit.
Elitism
menurut Thomas R. Dye (Islamy, 1986:41) mempunyai arti bahwa kebijakan publik
tidak begitu banyak mencerminkan keinginan rakyat tetapi keinginan elit.
Perubahan dan pembaharuan terhadap kebijakn publik terjadi hanya jika ada
peristiwa-peristiwa yang mengancam system politik dan kedudukan elit. Tujuan perubahan
kebijakan publik untuk melindungi sistem dan kedudukan elit. Elit menciptakan
sistem sedemikian rupa sehingga massa sebagian besar menjadi pasif, apatis, dan
buta informasi tentang kebijakan pulik. Elit mempengaruhi massa dan bukan
sebaliknya. Komunikasi berjalan satu arah yaitu dari atas ke bawah. Massa sulit
menguasai elit, dan massa tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap
perilaku elit yang membuat keputusan.
Irfan
Islamy (1986:40) menggambarkan kriteria-kriteria model elit-massa adalah
sebagai berikut:
1) Masyarakat dibagi
menjadi dua yaitu kelompok kecil (golongan elit) yang mempunyai kekuasaan
(peguasa) dan kelompok besar (golongan non-elit) yang tidak punya kekuasaan
(dikuasai).
2) Kelompok elit yang
berkuasa berbeda dengan kelompok non elit yang dikuasai, karena kelompok elit
terpilih berdasarkan keistimewaan yang dimiliki.
3) Perpindahan posisi
atau kedudukan dari non elit ke elit akan dipersulit, kecuali non elit yang
telah menerima konsensus dasar golongan elit yang dapat masuk kedalam lingkaran
penguasa.
4) Golongan elit
menggunkan consensus tadi untuk mendukung nilai-nilai dasar dan system social
dan untuk melindungi system tersebut.
5) Kebijakan publik
tidak menggambarkan kepentingan publik melainkan kepentingan elit.
6) Golongan elit yang
aktif relative sedikit sekali memperoleh pengaruh dari massa yang apatis atau
pasif. Elitlah yang mempengaruhi massa dan bukan massa yang mempengaruhi elit.
7. Conflict Theory Model
Teori adalah seperangkat
pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan
bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling
kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada
dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud
memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa
teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan
cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau
suatu benda.
Teori harus mengandung konsep, pernyataan
(statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun operasional dan
hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat konsep,
definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep,
definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi
dan prediksi.
Suatu teori dapat diterima dengan dua
kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu teori akan
dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang
menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai
paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan
antara konsep dan proposisi.
Konflik secara etimologis adalah
pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang pendapat atau keinginan; atau
perbedaan; pertentangan berlawanan dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik mempunyai arti percekcokan; perselisiah;
dan pertentangan. Sedangkan menurut kamus sosiologi konflik bermakna the
overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between
nation states, yakni pertentangan secara terbuka antara individu-individu
atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau antara bangsa-bangsa.
Dengan demikian yang dimaksud dengan teori
konflik adalah sekumpulan teori yang menjelaskan tentang peranan konflik,
terutama antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas dalam kehidupan sosial
masyarakat.
C. Pemilihan model tertentu
Model pengambilan keputusan memang beraneka ragam,
namun perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu model pun yang cocok digunakan
untuk mengatasi semua jenis situasi problematik yang dihadpi oleh organisasi.
Karena itu kemahiran yang perlu dikembangkan oleh para pengambil keputusan
ialah memilih secara tepat satu atau gabungan beberapa model, dan
menyesuaikannya dengan tuntutan situasi yang dihadapi. Alasan mengapa para
pengambil keputusan cenderung memilih model pengambilan keputusan yang
sederhana ialah karena mereka tidak bisa tidak harus mempertimbangkan berbagai
faktor intern, terutama nilai-nilai organisasional yang dianut dan berbagai
kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh para manajer yang lebih tinggi
kedudukannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengambilan keputusan merupakam proses interaksi
antara input-input sebagai bahan dasar pembentukan suatu model keputusan, yang
terdiri atas tujuan organisasi, kendala-kendala intern,kriteria
pelaksanaan dan berbagai alternatif pemecahan masalah. Imteraksi tersebut diharapkan
akan menghasilkan output yang baik yang berupa pelaksanaan
keputusan,pengendalian, dan umpan baliknya. Pengambilan keputusan baik
keputusan pribadi maupun keputusan kelompok dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu: keadaan lingkungan dn nilai-nilai yang kerap kali
bertentangan , pengaruh politik, emosionalisme, tingkat pendidikan, dan
model keputusam faktual. Lima faktor tersebut akan berpengaruh terhadap
pembentukan suatu model.
B. Saran
Sehubungan dengan uraian pembahasan hingga sampai
pada kesimpulan tentang Model pengambilan keputusan, maka kami pun menghimbau
agar kiranya kita tidak hanya berpatokan pada konsep ini saja namun, bisa lebih
mengembangkannya dalam kehidupan nyata, agar lebih jelas suatu implementasi
dari konsep pengambilan keputusan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, Komang, dkk. 2008. Perilaku
Keorganisasian. Yogyakarta: Graha Ilmu. h. 193.
Basyaib, Fachmi,. 2006. Teori
Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT Grasindo
David Jary dan Julia jary, Sosiology
Dictionary, New York: HarperCollins, 1991, Hlm. 76
Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, Hlm. 746
Richard. 2003. Management
(Manajemen). Jakarta: Salemba Empat.
Siagian, Sondang. 1990. Teori dan Praktek
Pengambilan Keputusan. Jakarta: Haji Masagung.
Suwitri, Sri. 2008.
Konsep Dasar Kebijakan Publik. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro
No comments:
Post a Comment